TAHLILAN, YASINAN, MAULID DAN DZIKIR BERSAMA


WAHABI: “Mengapa sih kaum Anda selalu mengadakan acara Tahlilan, Yasinan dan aneka ragam dzikir bersama?”

SUNNI: “Memangnya kenapa kalau golongan kami yang merupakan mayoritas umat Islam, mengadakan acara-acara tersebut? Apakah ada dalil syar’iy yang secara khusus melarang dalam al-Qur’an dan hadits secara shorih (tegas)?”

WAHABI: “Ya itu kan amalan bid’ah. Masalah dalil syar’iy yang secara khusus melarang, ya jelas tidak ada. Tapi kan bid’ah.”

SUNNI: “Kamu ini lucu. Mengatakan amalan tersebut bid’ah, tapi tidak ada dalil khusus yang melarang. Berarti larangan kamu yang bid’ah. Justru amalan seperti ini dianjurkan oleh para ulama, termasuk oleh Syaikh Ibnu Taimiyah dalam banyak fatwa-fatwa beliau.”

WAHABI: “Maaf, kami walaupun Wahabi tidak mengikuti semua fatwa Syaikh Ibnu Taimiyah. Kami mengikuti fatwa yang lebih baru.”

SUNNI: “Kalau al-Syaukani menurut kamu bagaimana?”

WAHABI: “Imam al-Syaukani menurut kami jelas ulama hebat. Walaupun beliau pengikut Syiah Zaidiyah, yang masuk dalam golongan sesat, tapi pandangan-pandangannya banyak diadopsi oleh guru-guru kami yang ada di Wahabi maupun di Majelis Tarjih Muhammadiyah.

Apalagi kitab beliau Nail al-Authar, jadi rujukan mereka. Syaikh Albani dan Syaikh Ibnu Baz juga sangat mengagumi beliau.”

SUNNI: “Kamu ini lucu, ngaku anti Syiah, dan menyesatkan Syiah Zaidiyah, tapi mengadopsi banyak pendapat ulama mereka.

Kamu tahu, al-Syaukani membolehkan dan menganjurkan dzikir bersama seperti Yasinan, Maulid dan Tahlilan, dalam fatwanya.”

WAHABI: “Owh, masak begitu. Coba perlihatkan, bagaimana fatwa beliau?”

SUNNI: “Al-Syaukani berkata dalam fatwanya:

السؤال الخامس: حاصله الاستفهام عن الأعراف الجارية في بعض البلدان من الاجتماع في المساجد لتلاوة القرآن على الأموات، وكذلك في البيوت، وسائر الاجتماعات التي لم ترد في الشريعة، هل يجوز ذلك أم لا؟.

Soal Kelima: Kesimpulan soal, pertanyaan tentang tradisi-tradisi yang berlangsung di sebagian negeri berupa perkumpulan di Masjid-masjid untuk membaca al-Qur’an bagi orang-orang yang sudah meninggal.

Demikian pula perkumpulan di rumah-rumah, dan perkumpulan-perkumpulan lain yang tidak datang dalam syari’at. Apakah hal tersebut boleh atau tidak?

أقول: لا شك أن هذه الاجتماعات المبتدعة إن كانت خالية عن معصية سليمة من المنكرات فهي جائزة، لأن الاجتماع ليس بمحرم في نفسه ، لا سيما إذا كان لتحصيل طاعة كالتلاوة ونحوها. ولا يقدح في ذلك كون تلك التلاوة مجعولة للميت، فقد ورد جنس التلاوة من الجماعة المجتمعين كما في حديث: ” اقرأوا على موتاكم يس ” وهو حديث حسن ، فلا فرق بين تلاوة يس من الجماعة الحاضرين عند الميت أو على قبره، وبين تلاوة جميع القرآن أو بعضه لميت في مسجده أو بيته.

Aku berkata: “Tidak diragukan lagi bahwa perkumpulan-perkumpulan yang diada-adakan ini, apabila bersih dari kemaksiatan, selamat dari kemungkaran, maka hukumnya boleh.

Karena perkumpulan itu tidak diharamkan sebab perkumpulannya itu. Lebih-lebih apabila perkumpulan tersebut untuk melaksanakan ibadah seperti membaca al-Qur’an dan sesamanya (dzikir dan Tahlilan).

Perkumpulan tersebut juga tidak dapat dicela karena bacaan al-Qur’an nya dihadiahkan bagi orang yang sudah meninggal.

Karena jenis bacaan al-Qur’an dari jamaah yang berkumpul benar-benar telah datang seperti dalam hadits, “Bacakanlah surah Yasin bagi orang-orang meninggal kalian”.

Hadits ini adalah hadits hasan. Jadi tidak ada bedanya antara membaca surat Yasin, dari jamaah yang hadir di sisi si mati, atau di atas makamnya, dan antara membaca seluruh al-Qur’an atau sebagian bagi si mati, di Masjid nya atau di rumahnya.

وبالجملة فالاجتماعات العرفية التي لم يرد جنسها في الشريعة إن كانت لا تخلو عن منكر فلا يجوز حضورها، ولا يحل تطييب نفس الجار بحضور مواقف المنكرات والمعاصي وإن كانت خالية عن ذلك، وليس فيها إلا مجرد التحدث بما هو مباح، فهذا لا نسلم أنه لم يرد جنسه في الشريعة المطهرة، فقد كان الصحابة الراشدون يجتمعون في بيوتهم ومساجدهم، وعند نبيهم – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – ويتناشدون الأشعار، ويتذاكرون الأخبار، ويأكلون ويشربون، فمن زعم أن الاجتماع الخالي عن الحرام بدعة فقد أخطأ، فإن البدعة هي التي تبتدع في الدين، وليس هذا من ذاك.

Kesimpulannya, perkumpulan-perkumpulan tradisional yang jenisnya tidak datang di dalam syariat, apabila tidak bersih dari kemungkaran, maka tidak boleh menghadirinya.

Tidak boleh menyenangkan hati tetangga dengan menghadiri tempat-tempat kemungkaran dan kemaksiatan.

Apabila perkumpulan tersebut bersih dari hal itu, dan isinya hanya sekedar membicarakan hal-hal yang dibolehkan, maka hal ini kami tidak menerima jika dikatakan bahwa jenis perkumpulan tersebut tidak terdapat di dalam syariat yang suci.

Karena para sahabat yang memperoleh petunjuk selalu mengadakan perkumpulan di rumah-rumah dan masjid-masjid mereka, dan di sisi Nabi mereka shallallahu ‘alaihi wasallam.

Mereka saling menembangkan syair (persis maulidan), saling mengingatkan berita-berita, mereka makan dan minum di situ.

Siapa yang berasumsi bahwa perkumpulan yang bersih dari haram itu bid’ah, maka ia telah benar-benar keliru.

Karena bid’ah itu sesuatu yang diada-adakan dalam agama. Sedangkan perkumpulan (Yasinan, Hataman, Tahlilan dan semacamnya) ini bukan termasuk bid’ah tersebut.”

(Al-Fath al-Rabbani min Fatawa al-Imam al-Syaukani, juz 9 halaman 4502)

WAHABI: “Aneh juga ya. Ternyata Imam al-Syaukani rahimahullah membolehkan acara-acara Yasinan, Maulid, Tahlilan dan semacamnya.”

SUNNI: “Apanya yang aneh? Kan yang melarang acara-acara tersebut, kaum wahabi modern.

Kalau para ulama sebelum berkembangnya aliran Wahabi, tidak ada yang melarang atau membid’ahkan acara seperti di atas.”

WAHABI: “Owh iya ya. Memang ajaran kami banyak yang baru. Ajaran kami kaum Wahabi banyak yang bid’ah. Maklum mencari identitas.”

Editor: #dbc

 

Share:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar